#2019 Ganti Presiden atau Ganti Sistem Pemerintahan?


Sebelum Anda membaca lebih lanjut tulisan ini, maka alangkah baiknya jika Anda semua mencoba untuk memperhatikan konklusi fakta yang tidak mungkin terbantahkan sebagai berikut.

Pertama, siapapun Presidennya, baik yang saat ini menjabat atau yang dijagokan untuk menggantikannya, maka realitanya tidak akan bisa berbuat apa-apa terhadap problem yang dialami oleh masyarakat dan terlebih soal utang luar negeri dan pertambahan utang yang otomatis bertambah akibat riba yang diterapkan.

Kedua, siapapun Presidennya, baik yang saat ini menjabat atau yang dijagokan untuk menggantikannya, tidak akan bisa berbuat apa-apa terhadap konsesi pertambangan yang telah dikuasai asing dan aseng, bahkan korporat keluarga domestik yang telah berbagi jatah tambang di negeri ini.

Untuk urusan ini, logika sederhananya adalah jangankan mengusir Freeport, meminta konsesi lebih atas pajak yang menjadi hak negara saja tidak akan pernah bisa.

Ketiga, siapapun Presidennya, baik yang saat ini menjabat atau yang dijagokan untuk menggantikannya, maka tidak akan bisa berbuat apa-apa terhadap penguasaan lahan yang mayoritas dikuasai korporat baik domestik, asing maupun aseng, yang pada umumnya dikelola melalui perseroan saham.

Jangankan menarik tanah tersebut menjadi hak negara dan didistribusikan kepada rakyat, meminta konsesi lebih atas pajak yang menjadi hak negara saja tidak akan mampu.

Keempat, siapapun Presidennya, baik yang saat ini menjabat atau yang dijagokan untuk menggantikannya, maka tidak akan bisa berbuat apa-apa terhadap problem ekonomi yang diakibatkan sistem ekonomi kapitalis, di mana harta ditengah-tengah masyarakat dan khususnya umat Islam akan ditarik dan terkonsentrasi kepemilikannya pada segelintir kaum kapitalis, baik domestik, asing maupun aseng.

Kelima dan ini yang paling utama, siapapun Presidennya, baik yang saat ini menjabat atau yang dijagokan untuk menggantikannya, maka tidak akan mampu dan tidak mau menerapkan syariat Islam secara kaffah, untuk mengemban misi dakwah Islam ke seluruh penjuru alam, membebaskan bumi Palestina, Khasmir, Rohingya, Suriah dan negeri Islam lainnya yang tertindas meskipun mereka yang memimpin mengaku sebagai seorang Muslim.

Sampai disini, sebenarnya seluruh umat Islam pada khususnya wajib berfikir sebelum bertindak, wajib merujuk dalil syara’ sebelum berbuat, dan jangan bergerak hanya atas dasar sentimen perasaan serta kecenderungan semata.

Bahwa rezim pada hari ini menampakkan kedzaliman yang sangat nyata kepada umat, jawabnnya adalah iya. Tetapi, mengganti rezim saja apakah itu akan menyelesaikan persoalan kedzaliman yang ada?

Padahal, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Barangsiapa Menerapkan Hukum Selain Hukum Allah, Maka Mereka Itu Termasuk Kaum Yang Dzalim”.

Dari firman Allah tersebut, mengganti satu Presiden dengan Presiden yang lain tidak akan menghilangkan unsur kedzaliman. Sebab, akar masalahnya adalah ada pada sistem Demokrasi Republik, yang meletakkan kedaulatan hukum ditangan rakyat, bukan ditangan syariat.

Lantas, bukankah suatu kedzaliman yang besar jika umat meletakkan syariat dibawah ketiak kedaulatan rakyat?? Bukankah tidak ada perubahan, jika yang diubah hanyalah aktor kedzaliman?? Bukankah ini sama saja, lolos dari mulut macan masuk mulut buaya? #MariBerfikirCerdas

Jika umat mau berfikir sejenak saja, kemudian seraya mengesampingkan rasa yang hanya didorong kecenderungan semata atau dorongan dan bujuk rayu ulama suu’ serta segelintir orang elit politik saja, maka umat akan mendapati kesimpulan sebagai berikut.

Pertama, hanya syariat Islam yang diterapkan melalui institusi Khilafah-lah yang akan tuntas menyelesaikan problem utang luar negeri dengan menghentikan hutang, mengharamkan riba, mengembalikan hanya pokoknya -setelah dikompensasikan dengan nilai cicilan yang sudah dilakukan-, kemudian menyatakan berlepas diri dari seluruh konsekuensi ribawi.

Jika mau fair menghitung, sesungguhnya nilai bunga cicilan ini jika dikompensasikan dengan pokok pinjaman, persoalan utang luar negeri ini sudah selesai, lunas dan tuntas.

Bagaimana jika negara pemberi pinjaman komplain dan mereka menuntut atas bunga yang belum ditunaikan? Jawabnya, negara Khilafah menyatakan berlepas diri dari itu, dan siap membela diri dengan seruan Jihad, jika ada negara yang berani menuntut atas hak yang tidak dibenarkan menurut syara’. Maka persoalan utang luar negeri ini akan selesai, dan tuntas.

Kedua, hanya syariat Islam yang diterapkan melalui institusi Khilafah-lah yang akan tuntas menyelesaikan problem konsesi pertambangan yang telah dikuasai asing dan aseng, bahkan korporat keluarga domestik yang telah berbagi jatah tambang di negeri ini.

Khalifah akan mengadopsi konstitusi dan perundangan yang akan mengumumkan hak atas harta kepemilikan umum yang dilarang (haram) di miliki pribadi, korporat, baik domestik, asing maupun aseng.

Selain itu, negara Khilafah akan mengambil alih seluruh konsesi pertambangan dari swasta, mengelolanya atas nama negara, dan mendistribusikan manfaatnya kepada seluruh rakyat, tanpa membedakan status dan agama.

Perusahaan swasta, asing maupun aseng -termasuk perusahaan domestik- hanya memiliki hak atas investasi alat dan teknologi, itupun setelah dikompensasikan dengan nilai manfaat tambang yang selama ini telah dijarah dari negara.

Ketundukan ini wajib dilaksanakan, dan jika membangkang negara Khilafah dengan perangkat, alat dan struktur negara akan memaksa setiap entitas baik pribadi maupun korporat yang ada di yurisdiksi wilayah negara untuk tunduk, taat dan patuh pada hukum syariah yang telah diadopsi negara. Dengan hal ini, maka persoalan kedua selesai, dan tuntas.

Ketiga, hanya syariat Islam yang diterapkan melalui institusi Khilafah-lah yang akan tuntas menyelesaikan problem penguasaan lahan yang mayoritas dikuasai korporat baik domestik, asing maupun aseng, yang pada umumnya dikelola melalui perseroan saham.

Negara Khilafah akan membubarkan perseroan saham yang diharamkan dalam Islam, menggantinya dengan syirkah-syirkah Islami. Perseroan saham yang dibubarkan, aset tanahnya diminta untuk dikelola sesuai syirkah Islami yang dibentuk dengan mengelolanya secara langsung.

Sisa lahan yang tidak bisa dikelola, maka diambil alih negara dan kemudian didistribusikan kepada rakyat secara merata dengan konsesi pemberian dari negara (Iqto’ Ad-Daulah). Ini berkaitan dengan lahan pertanian.

Sementara itu, lahan yang pada asalnya individu terlarang untuk memiliki, lahan yang demi kemaslahatan negara berhak untuk melakukan pemagaran (Tahjir), seperti lahan hutan, lembah dan rawa-rawa, maka negara langsung mengambil alih dari swasta tanpa kompensasi.

Selanjutnya, negara akan melakukan pengelolaan sesuai pandangan dan ijtihad Khalifah untuk merealisir kemaslahatan umat. Adakalanya, lahan dibiarkan untuk menjaga ekosistem alam. Ada kalanya lahan dihidupkan, atau dibuka untuk lahan pertanian.

Ada kalanya lahan didistribusikan kepada rakyat, baik dalam bentuk natural lahan atau telah diubah bentuk menjadi permukiman dan yang semisalnya. Dan dengan hal ini, maka persoalan ketiga selesai, dan tuntas.

Keempat, syariat Islam yang diterapkan melalui institusi Khilafah-lah yang akan tuntas menyelesaikan problem ekonomi yang diakibatkan sistem ekonomi kapitalis, di mana harta ditengah-tengah umat akan dikelola sesuai hukum syara’.

Harta-harta kepemilikan individu (Milkiyatul Fardiyah) akan dibiarkan dikelola oleh individu umat, sesuai ketentuan syara dan negara melakukan kontrol secara umum terhadap proses transaksi dan pertukarannya.

Sedangkan harta-harta milik umat (Milkiyatul Ummah) dikelola dan dikendalikan oleh negara, di mana hasilnya dikembalikan kepada rakyat baik secara langsung maupun dalam bentuk layanan publik.

Sementara itu, harta-harta milik negara (Milkiyatud Daulah) akan dikelola dan dimanfaatkan oleh negara untuk melaksanakan tugas-tugas riayah (pelayanan) negara terhadap umat.

Maka jika sudah seperti itu, maka harta-harta akan beredar ditengah umat secara adil, dan tidak menumpuk pada individu tertentu. Persoalan keempat pun kemudian selesai, dan tuntas.

Inilah ilmu dan gagasan yang harus diketahui oleh SETIAP MUSLIM dan jangan sampai takut untuk menyuarakannya. Sebab jika negara ini mengaku sebagai penganut Demokrasi dan menghormati kebebesan berekspresi, maka penyampaian gagasan dan ekspresi ini tidaklah melanggar hukum.

Kelima dan ini yang paling utama, ketika Khilafah ditegakkan dan ketika Khalifah telah dibaiat, maka demi hukum, negara akan menerapkan syariat Islam secara kaffah, mengemban misi dakwah Islam ke seluruh penjuru alam, membebaskan Palestina, Khasmir, Rohingya, Suriah dan negeri Islam lainnya yang tertindas.

Tugas-tugas ini akan dipimpin langsung oleh Khalifah, bersama seluruh perangkat negara, tentara kaum Muslimin dan atas dukungan seluruh umat warga negara Daulah Khilafah.

Jadi, jika berbicara soal #2019 atau tahun sebelumnya dan tahun yang akan datang, maka sudah jelas bahwa persoalannya bukan sekedar ganti rezim tetapi juga ganti sistem pemerintahan.

Persoalannya bukan sekedar gonta-ganti Presiden, tetapi bagaimana kaum Muslimin bisa melaksanakan ibadah yang mencakup perintah dan larangan Allah secara sempurna dan kaffah, serta kewajiban untuk membaiat seorang Khalifah yang banyak sekali hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskannya.

Karena atas akad baiat itulah, Khilafah kaum Muslimin berdiri.

Serius, Anda hanya mau ganti rezim??

Serius, Anda tidak ingin ganti sistem agar hidup Anda lebih baik lagi dan sejahtera serta mendapatkan keadilan yang merata?

Oleh karena itu, bersatulah wahai kaum Muslimin, karena kehidupan umat dan masyarakat luas tidak akan bisa tenang dan aman serta mendapatkan keadilan jika hanya GANTI REZIM tanpa GANTI SISTEM, untuk MENEGAKKAN KHILAFAH! [Edt; Abd/RMC]

Sumber: Mata-Media

Posting Komentar untuk "#2019 Ganti Presiden atau Ganti Sistem Pemerintahan?"